Berawal
dari biji yang hendak tumbuh menjadi tunas baru yang nantinya menjadi tanaman
kokoh, bermanfaat bagi makhluk hidup, menghasilkan oksigen untuk bernafas,
menghasilkan buah untuk dikonsumsi, menghasilkan kayu untuk tempat bernaung dan
masih banyak lagi, sayangnya biji ini belum sempat tumbuh menjadi tunas, mereka
harus mengalami dormansi, dikarenakan lingkungan mereka yang tidak mendukung,
lingkungan yang merugikan mereka, sehingga mereka harus terdormansi dalam
jangka waktu tertentu tanpa bisa melihat dunia luar yang indah. Itulah
pemandangan yang saya lihat di sana, di salah satu lembaga pemasyarakatan di
jember, dimana ada beberapa tunas yang sebenarnya menjadi tanaman yang kokoh.
Namun terpaksa mengalami dormansi karena terlanjur berada pada lingkungan yang
salah.
Berawal
dari rasa ingin tahu dan mencoba untuk menjadi pengajar di jail schooling,
sampai akhirnya lolos menjadi pengajar, banyak suka dan duka yang sudah saya
alami. Rasa takut saat pertama berkenalan pastilah ada, akibat silogisme
negative masyarakat yang menganggap semua orang yang masuk disini adalah
orang-orang jahat karena sudah melakukan tindakan kriminalitas, namun semua
pikiran negative itu sirna saat saya melihat wajah-wajah polos anak-anak yang
terkurung disana. Saya tidak percaya jika anak-anak ini melakukan hal yang
buruk sampai mereka harus mendekam di tempat ini. Saat awal mengajar, kesulitan
yang saya alami di dalam penjara adalah lebih kepada antusiasme awal anak-anak
yang kurang, sehingga pada saat diajak untuk belajar mereka malas-malasan,
tidur dan saya harus membangunkan mereka terlebih dahulu, ditambah mereka yang
harus satu blok dengan orang dewasa, mereka harus disuruh ini itu, sehingga
memotong jam pelajaran menjadi lebih singkat, yang menjadi factor utama adalah mindset mereka yang berorientasi pada
siapa dan untuk apa mereka belajar, padahal masa depan mereka sudah pupus
ditempat ini. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk meyakinkan, bahwa mereka
masih memiliki masa depan dan bisa menjadi orang sukses, bahkan lebih sukses
dibanding orang-orang yang tidak pernah berurusan dengan hukum.
Dalam
jangka waktu 3 minggu awal saya mengajar, perubahan terjadi pada mereka maupun
pada diri saya sendiri. Saya berusaha membuat metode pelajaran yang menyenangkan
dengan permainan dan reward di akhir
pebelajaran, agar mereka berantusias dalam belajar. Gelak tawa menjadi selingan
di tiap proses pembelajaran. Dari situlah saya benar-benar mengenal siapa
mereka. Mereka hanya sebatas anak-anak yang kurang beruntung, mendekam
dipenjara dengan satu kesalahan yang bahkan banyak orang diluar sana melakukan
kesalahan yang lebih parah, lebih keji, dan tidak berperikemanusiaan namun
masih bisa berkeliaran bebas diluaran sana. Dari situlah saya terpanggil untuk membimbing
mereka. Serasa memiliki anak sendiri meski saya belum menikah. Bertanggung
jawab mengajar dan mendidik mereka agar tidak kalah saing dengan anak-anak
diluaran sana. Secara tidak langsung hal ini mengubah kepribadian saya. Yang
kurang peka dengan lingkungan, terkesan tidak peduli dengan orang lain, acuh
tak acuh dan kurang bisa bergaul dengan orang baru, menjadi lebih peduli dengan
sesama dan mau berbagi. Dan untuk pertama kalinya saya merasa bahwa saya
berguna untuk orang lain. Mencurahkan kasih sayang yang saya punya untuk
mereka. Bahkan saya sangat bersemangat saat mereka akan mengikuti lomba cerdas
cermat melawan siswa dari sekolah regular. Saya ingin menunjukkan bahwa
murid-murid saya ini sanggup bersaing dengan mereka yang bersekolah di sekolah
formal. Mengajari mereka, melatih mereka dengan mengorbankan waktu yang saya
punya hanya demi harapan itu terwujud tak peduli waktu,tenaga dan uang yang
harus saya keluarkan.
Namun
setelah menyiapkan segalanya, harapan itu pupus ditengah jalan karena lomba
tersebut harus dibatalkan dikarenakan aturan yang membatasi, lebih parahnya
program jail schooling ini harus dihentikan dan diganti dengan program
pembinaan untuk napi dewasa. Yah… entah apa yang ada dalam fikiran mereka para
penguasa. Seakan menganggap diri mereka suci dari dosa. Meremehkan kami seakan
kami tidak mengetahui tata aturan yang berlaku. Apakah UUD 1945 khususnya Pasal
28 C ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya. Demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”
tak terkecuali children in conflict with
the law seperti mereka. Apa hanya karena satu kesalahan, mereka sudah tidak
anggap sebagai salah satu bagian dari masyarakat? Apakah UUD 1945 hanyalah
wacana belaka? Yah.. saya tidak mengerti hukum di Negara ini. Yang pasti saya
berharap mereka masih diberi kesempatan agar mereka cepat mengakhiri masa
dormansi mereka dan tumbuh menjadi tunas yang kuat dan kokoh menghadapi
lingkungan yang keras. Saya ingin suatu saat nanti mendengar kabar bahwa mereka
menjadi orang sukses dan menjalani kehidupan yang lebih baik dari sekarang.
Masa dormansi tidak menjadikan suatu tanaman mati atau tidak tumbuh. Masa
dormansi bisa dipatahkan dengan cara yang tepat untuk menumbuhkan sesuatu yang
tak terduga. Yakni, tunas baru yang akan menjadi pohon kokoh dan memberi
kehidupan bagi makhluk hidup lainnya.
By : Sylvia Anggraeni
(semoga menginspirasi reader semua)